Ahad, 17 Mei 2009

Detik-detik Rasullah SAW menjelang sakratul maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat
kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,
burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku,
kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan
bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al
Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak
orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh
menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan
berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman
menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat
itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala
itu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia.

Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap
Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik
berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih
tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan
keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas
tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan

salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya
masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan
badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan
bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah,
sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan.
Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang
menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di
dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan
tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril
tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah
bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia
ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para
malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti
kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh
kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman
kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah
berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh
Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,
urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya
menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku,
hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat
pengantar wahyu itu. " Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut
ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak
tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua
siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai
dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan
hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum
bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni
orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.
Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan
telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii,
ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta
sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi

* * *

Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. Kirimkan kepada sahabat-2 muslim
lainnya agar timbul kesadaran untuk mencintai Allah dan RasulNya, seperti
Allah dan Rasulnya mencinta kita. Karena sesungguhnya selain daripada itu
hanyalah fana belaka.

"Solatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku solat"